TEMPO.CO, Jakarta - Bisnis Go-Jek diperkirakan semakin meroket dengan suntikan modal dari berbagai investor. Investasi secara kolektif yang diterima penyedia layanan on demand berbasis aplikasi itu diperkirakan telah menyundul US$ 1,2 miliar atau berkisar Rp 16 triliun.
Modal segar yang baru diterima Go-Jek dari dua perusahaan, yakni PT Astra International Tbk dan PT Global Digital Niaga (GDN), diproyeksikan untuk pengembangan berbagai bisnis.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan para investor Go-Jek mengincar potensi bisnis yang lebih dari sekadar layanan transportasi. "Karena Go-Jek sekarang main di finansial technology, seperti Go-Pay, dan ini mulai menggeser bisnis perbankan," ujarnya pada Tempo, Jumat, 16 Februari 2018.
Simak: Bos Go-Jek Kembangkan Go-Pay Jadi Uang
PT Astra International Tbk dan PT Global Digital Niaga (GDN) yang baru menggandeng Go-Jek sebagai upaya memperluas pasar. Astra saat ini mengucurkan dana investasi hingga US$ 150 juta atau sekitar Rp 2 triliun. Adapun modal dari GDN diperkirakan berkisar Rp 1,5 triliun.
Menurut Bhima, fitur 'dompet elektronik' seperti Go-Pay cocok dengan layanan Blibli, toko online milik GDN. Go-Jek, dalam ini, menjadi jembatan pembayaran dan layanan antar barang. "Kekuatan Go-Jek adalah pengemudinya yang banyak, sehingga bisa menjadi agen untuk payment dan delivery."
Investasi Astra yang penghasilan terbesarnya berasal dari bisnis otomotif pun dianggap wajar. "Astra bisa mendukung fasilitas kendaraan motor untuk pengemudi Go-Jek. Jadi langkah pemodal sudah diperkirakan bisa berkembang," kata Bhima.
Ekonom dari PT Bank Permata, Josua Pardede, mengatakan para investor paling mengincar database Go-Jek. Informasi dari penyedia aplikasi, kata dia, berguna untuk memantau perilaku konsumen. "Bisa dilihat kok dalam big data, ini yang lebih bernilai."
Bisnis Go-Jek yang bersifat capital intensive, atau bergerak berdasarkan modal para investor, pun dianggap lebih menguntungkan dari sisi perizinan. "Beda dengan sektor manufaktur, bangun pabrik harus banyak mengurus izin," katanya.
Chief Executive Officer GDN, Kusumo Martanto, tak menutup kemungkinan jika pihaknya akan mengembangkan jasa logistik bersama Go-Jek. "Atau merchandising (giat dagang),” katanya dalam keterangan resmi.
GDN melirik jangkauan konsumen Go-Jek yang luas. Go-Jek pun dianggap mumpuni mengembangkan aplikasi sesuai kebutuhan publik.
Presiden sekaligus co-founder Go-Jek, Andre Soelistyo, memastikan pihaknya mengembangkan peluang bisnis bersama para investornya barunya. Di awal tahun pun, Go-Jek sudah mengantongi dana dari sejumlah investor seperti Google dan Temasek Holdings. "Sebagai pemain lokal, GDN memiliki pengalaman mendalam soal peluang dan tantangan sektor ekonomi digital," tutur Andre.
CEO Go-Jek Nadiem Makarim pun menyebut investasi Astra sebagai yang terbesar di bidang digital. Koneksi kerja dengan Astra, menurut dia, bisa mengarah pada aspek kendaraan dan distribusi.
Pemerintah pun menanti geliat investor domestik terhadap start-up. Menurut Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan, modal untuk start-up lokal lebih sering datang dari pihak asing.
"Karena pemain asing sudah paham dengan kerja start-up. Di sisi lain, investor dalam negeri malah wait and see," ujarnya pada Tempo.
Menurut dia, bisnis berbasis digital sudah dipermudah oleh pemerintah. Dia mencontohkan adanya Paket Kebijakan Ekonomi ke-14 yang terkait dengan perdagangan berbasis elektronik, serta aturan Otoritas Jasa Keuangan tentang fintech.
"Kalau lebih banyak barang dan jas yang dijual, uang semakin banyak beredar dan lapangan kerja bertambah," ujarnya.
ADITYA BUDIMAN | BUDIARTI UTAMI PUTRI | YOHANES PASKALIS PAE DALE