TEMPO.CO, Solo - Atlet Asian Para Games 2018, Doni Yulianto, punya pandangan unik soal persaingan dan menjalin relasi dengan atlet dari negara lain. Menurutnya, menjadi atlet tidak hanya dituntut bermain prima saat berlaga, tapi juga harus punya mental baja saat menghadapi lawan di luar arena.
"Jangan dikira atlet dari negara lain akan langsung menyambut anda dengan tangan terbuka. Pencerengan (saling beradu pandang dengan mata melotot) itu hal yang biasa," kata salah satu atlet balap kursi roda Indonesia itu saat ditemui Tempo di Hotel Kusuma Sahid Solo, Kamis, 3 Mei 2018.
Doni mengatakan, tatapan sinis dari atlet lain itu sebenarnya hanya salah satu trik demi menjatuhkan mental lawan sebelum bertanding, bukan untuk mengobarkan permusuhan. Pelajaran itu dipetik Doni saat dia mewakili Indonesia di ASEAN Para Games 2017 di Malaysia. Sebagai atlet pendatang baru di tingkat internasional, Doni mengaku sempat 'down' ketika sesi latihan di Malaysia.
"Atlet dari Thailand saat itu banyak, ada sekitar 15 orang. Mereka latihan bergerombol dan kencangnya bukan main," kata lelaki 29 tahun asal Solo Baru, Kabupaten Sukoharjom itu. Karena untuk balap kursi roda hanya disediakan tiga line, Doni pun berlatih di belakang rombongan atlet Thailand. Namun, saat Doni mencoba bertegur sapa demi membuka percakapan, justru sorot mata tajam yang dia dapat sebagai balasannya.
Meski sempat down, Doni tidak patah arang. Atlet yang baru memulai karir sejak Indonesia menjadi tuan rumah ASEAN Para Games 2011 itu terus memasang muka ramah dan mengajak berkenalan lawan-lawannya, terutama yang sekilas terlihat santai. "Mungkin mereka bingung juga, orang Indonesia masih ramah saja meski sudah dipencerengi (dipelototi)," ujar peraih medali emas di nomor 1.500 meter kelas T 54 putra ASEAN Para Games 2017 itu.
Berkat kegigihannya menjalin persahabatan, Doni akhirnya berhasil mendapatkan program latihan khusus dari salah satu atlet Thailand yang selama ini dikenal sebagai jawara di balap kursi roda dunia. "Mereka sebenarnya orang baik, cuma sok pasang tampang masam saja. Buktinya setelah pulang ke Indonesia saya diberi program latihannya," kata Doni yang sejak 2015 diangkat menjadi PNS di Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Program khusus tersebut di antaranya membagi waktu dalam sepekan menjadi dua bagian, yaitu latihan gymnastic tiga hari dan latihan di lintasan tiga hari. Latihan per hari rutin enam jam, yaitu tiga jam saat pagi (pukul 06.00 - 09.00 dan tiga jam saat sore (pukul 15.00 - pukul 18.00). "Jadi belum reda capeknya sudah harus latihan lagi," ujar Doni.
Setelah konsisten mempraktekkan program latihan ala Thailand itu, Doni kini telah menipiskan catatan waktunya dari sekitar 2 menit menjadi 1 menit 50 detik untuk jarak 800 meter, 25 detik untuk 200 meter, dan 14 detik untuk 100 meter.
"Harus ngeyel (nekat) di arena, prinsipnya sama-sama mencari prestasi. Meski saling
pencerengan, pembalap kursi roda itu sebenarnya saling menjaga di lintasan. Mereka sangat berhati-hati agar jangan sampai menyenggol lawan," kata Doni.
Ia berharap Asian Para Games 2018 bukan ajang terakhir buatnya. Atlet ini mengaku baru akan pensiun dari lintasan balap ketika tubuhnya benar-benar sudah tidak bisa diajak kompromi. "Dari Thailand ada yang usianya sudah 40 tahun tapi tenaganya luar biasa. Saya yang lebih muda 11 tahun masih tertinggal," kata Doni.
DINDA LEO LISTY